Catatan Harian · Tualang

Impulsif Menjajal Indochina Overland

Juli 2019,

Ide perjalanan ini sebenarnya muncul agak tiba-tiba. Awalnya, saya hanya punya kepentingan untuk menyelesaikan beberapa urusan pekerjaan di Kuala Lumpur, Malaysia. Naluri sebagai “tukang main” muncul begitu menyadari waktu lowong masih bisa diutak-atik dan mumpung sudah berada di daratan utama benua Asia. Jadilah kemudian saya merencanakan untuk melakukan perjalanan darat melintas empat negara Asia Tenggara: Malaysia – Thailand – Kamboja – Vietnam.

Rute ini saya tempuh dengan berganti-ganti jenis transportasi darat, dari mulai menaiki bis, kereta, MRT, subway, tuktuk hingga menyewa sepeda motor. Di kalangan pejalan, rute ini biasa dikenal dengan Indochina Overland. Sebagian lainnya juga menamainya banana pancake trail. Istilah terakhir ini marak digunakan semenjak meningkatnya kunjungan turis dari negara barat ke Asean pada medio 1980an.  

Karena dilakukan secara impulsif, bisa dibilang riset dan persiapan yang saya lakukan sebelum perjalanan pun terbilang minim. Saya hanya punya waktu tak sampai dua hari untuk mengira-ngira lokasi mana yang akan dikunjungi, dimana akan menginap, menggunakan transportasi apa dan seterusnya. Tak pelak, itinerary yang saya bawa pun masih banyak bolong disana-sini. Saya berniat untuk melengkapinya di saat ada waktu luang ketika menaiki kendaraan umum atau ketika beristirahat di penginapan.

Impresi Saat Berkenalan Dengan Tetangga

Rute Indochina Overland, 20-30 Juli 2019

Empat negara yang saya tuju ini adalah negara tetangga se-regional yang tergabung dalam organisasi kerjasama ASEAN. Salah satu manfaat yang dirasakan ialah kebijakan bebas visa, yang membuat antar warga bisa saling mengunjungi tanpa perlu mengurus dokumen keimigrasian. Hal ini tentunya cukup membantu, karena biasanya proses penerbitan visa ini membutuhkan waktu dan biaya yang cukup lumayan. Satu-satunya persiapan khusus yang saya lakukan untuk memulai perjalanan ini hanyalah menukarkan sejumlah rupiah ke mata uang ringgit dan dollar. Ringgit akan digunakan begitu tiba di Malaysia, sementara dollar akan ditukarkan dengan mata uang lokal di money changer begitu memasuki tiga negara lainnya.

Bagi saya, perjalanan ini penting untuk melihat seperti apa kondisi di setiap negara yang menjadi tetangga dekat kita ini. Setidaknya, hal tersebut dapat dijadikan sebagai sarana untuk berkaca diri. Benar saja, setiap negara pada kenyataannya memang memiliki impresi unik yang dirasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki.

Di Malaysia, saya sedikit dibuat kaget dan iri dengan kemajuan dan keteraturan fasilitas publik yang tersedia. Hal ini setidaknya saya rasakan ketika berada misalnya di KLIA (Kuala Lumpur International Airport) atau beberapa terminal bus yang berdiri dengan kondisi yang nyaman dan sangat akomodatif. Di Terminal Berpadu Selatan, saat menunggu bus untuk bertolak menuju Penang, saya merasakan kondisi terminal yang sangat luas namun juga rapi, bersih, dan dengan fasilitas relatif lengkap. Jika dibandingkan, barangkali gedung terminal ini sudah menyamai kondisi mall di kota yang ada di Pulau Jawa. Imaji  terminal di Indonesia yang cenderung kumuh, banyak calo, dan rawan tindak kejahatan hampir tidak saya temukan ketika berada di sini. Saya bahkan sempat memanfaatkan sudut terminal untuk tidur berselonjor karena menunggu bus yang ketika itu keberangkatannya masih cukup lama. Saya bisa tertidur pulas tanpa perasaaan khawatir sedikitpun. Hal serupa juga banyak dilakukan para backpacker lain yang menunggu keberangkatan bus yang akan membawa mereka ke kota lainnya di Malaysia atau negara tetangga.

Lain hal nya ketika berada di Thailand dan Vietnam. Saya merasa dua negara ini sangat membuka diri terhadap kunjungan ragam jenis kalangan ke negaranya. Hal ini tentunya menjadi sesuatu yang penting ketika menisbatkan diri sebagai negara destinasi wisata internasional. Fasilitas dan objek wisata di ke dua negara ini terasa sekali sangat ramah wisatawan. Misalnya, dari ketersediaan pemandu dan signage dengan berbagai bahasa internasional, hingga cara masyarakat lokal menerima orang asing yang berkunjung ke negaranya. Saya merasakan mereka memberikan keleluasaan bagi siapa saja untuk menjadi diri mereka apa adanya, tanpa perlu dikurung suatu aturan “lokal” yang seringkali menjadi penghambat kemajuan di beberapa destinasi di Indonesia.

Sementara ketika berada di Kamboja, saya merasakan keinginan besar negara ini untuk segera menggeliat setelah terjebak dalam konflik horizontal yang panjang dan melelahkan. Semenjak meredanya konflik di awal 1990an, pemerintah Kamboja dibantu oleh beberapa organisasi internasional mulai membuka peluang kerjasama untuk memugar Angkor Wat yang menjadi salah satu komplek candi Buddha terbesar di dunia. Beberapa negara pun kemudian ikut menjadi semacam “wali” untuk candi-candi yang ada di Angkor Wat, dimana mereka bertanggung jawab khususnya dari segi pendanaan dari mulai proses pemugaran hingga perawatan jangka panjang. Buah dari kerja ini ialah kita bisa melihat sebuah komplek candi luas yang tertata, bercerita tentang luhurnya peradaban nenek moyang di masa silam, dan saat ini menjadi sumber devisa signifikan bagi negara Kamboja dari kunjungan turis yang terus meningkat setiap tahunnya.

Relatif Mudah dan Murah

Sebagaimana diketahui, perkembangan teknologi membuat perjalanan ke luar negeri menjadi jauh lebih mudah. Hampir segala hal terkait bisa dilakukan hanya dengan menekan beberapa tombol pada gawai yang kita miliki. Sebut saja untuk mencari rute menuju destinasi yang hendak dikunjungi, mencari pilihan transportasi dan penginapan, hingga kebutuhan berkomunikasi secara praktis menggunakan bahasa lokal.

Soal biaya memang akan sangat relatif tergantung selera dan preferensi masing-masing. Sebagai ilustrasi, saya hanya mengeluarkan tak lebih dari satu juta rupiah ketika berganti-ganti transportasi dari Kuala Lumpur di Malaysia hingga Siem Reap di Kamboja. Jumlah ini tak jauh berbeda dengan kebutuhan apabila kita bepergian dengan transportasi darat dengan jarak yang sama di Indonesia.

Sehingga, minimnya ketersediaan informasi dan tingginya biaya yang beberapa dekade lalu sempat jadi momok bagi orang yang akan melakukan perjalanan luar negeri terpatahkan dengan sendirinya. Di zaman yang serba terbuka ini, ungkapan “selama ada kemauan pasti ada jalan” agaknya semakin valid berlaku, khususnya bagi upaya bepergian seperti yang saya ceritakan pada postingan ini.

Menjalin Pertemanan Baru

Saya melakukan perjalanan Indochina Overland ini ini secara mandiri atau juga biasa disebut dengan solo-backpacking. Selain tentunya lebih hemat dan fleksibel, saya menyukai gaya seperti ini karena semakin terbukanya kesempatan untuk berinteraksi bahkan berteman dengan orang-orang yang baru saja ditemui. Semacam ada sesuatu yang mendorong, kalau backpacking maka harus berusaha menciptakan sebanyak mungkin interaksi agar memperoleh lebih banyak kemudahan atau memperoleh informasi-informasi unik yang bisa saja tidak tersedia dalam buku panduan perjalanan. Manfaat ini tentu akan sulit didapat apabila melakukan trip ekslusif secara berombongan, dimana kita telah terikat dengan durasi dan titik singgah yang telah ditentukan oleh operator perjalanan.  

Perkenalan pertama saya terjadi saat berada di Friend Perks Hostel di Kuala Lumpur. Saat sedang sarapan, saya duduk satu meja dengan David, pejalan solo asal Jerman. Awalnya kami hanya terlibat dalam perbincangan basa-basi, tapi ternyata kemudian kami jadi saling tahu bahwa destinasi yang akan kami kunjungi banyak memiliki kesamaan. Jadilah kemudian saya dan David keliling Kuala Lumpur dengan berkunjung ke Batu Cave, mencicipi nasi lemak Wanjo di Kampung Baru, melihat torehan sisa-sisa sejarah Islam yang masih tertinggal di Masjid Jamek hingga mengunjungi menara kembar Petronas.   

Saat pindah kota ke Penang, saya juga berkenalan dengan Mathieu, pejalan solo asal Prancis. Mathieu saat itu sebenarnya sedang menjalani WHV (Working Holiday Visa) di Australia. Ia mengambil jatah cutinya untuk menyusuri negara Asean dan berniat untuk menjadikan Laos sebagai titik finish. Karena Penang merupakan sebuah pulau yang tidak begitu besar, kami berdua kemudian bersepakat untuk menyewa sepeda motor untuk mendatangi objek-objek di Penang. Selama satu hari penuh sepeda motor yang digunakan kami bawa singgah antara lain ke Batu Fenggigi, Tropical Spice Garden, dan berakhir di Taman Negara di ujung utara pulau. Kami kembali ke penginapan Great Shanghai di Lebuh Chulia pada sore hari.

Perkenalan ketiga dengan “stranger” ini terjadi saat berada di bus dalam perjalanan dari Bangkok menuju Siem Reap. Karena membeli tiket mepet sore hari sebelum keberangkatan, saya kebagian kursi cadangan yang berada persis di belakang sopir bis Giant Ibis yang saya tumpangi. Beruntung, disamping saya adalah solo traveller perempuan asal Swiss bernama Sofia. Kami terlibat dalam obrolan yang cukup seru, seputar kondisi negara hingga pekerjaan kami masing-masing, dan akhirnya dia menjadi travel mate saya selama di Siem Reap. Begitu tiba di pool bis di Siem Reap, saya dan Sofia menyewa satu tuktuk untuk mengantarkan kami ke penginapan masing-masing. Sofia di Oneders dan saya di Damnak Riverside. Keesokan paginya, masih menggunakan tuktuk yang sama, saya dan Sofia menuju Angkor Wat dengan tiket terusan seharga USD37. Kami berdua terlibat obrolan yang lebih seru dan saling bergantian jadi juru foto sambil mengelilingi candi –candi Bayon, Ta Prohm, Banteay, Ta Keo, Angkor Thom, Preah Khan, dan Elephant Terrace.

————

Kondisi pandemi Covid-19 yang mengganas sejak awal 2020 sepertinya belum akan mereda hingga beberapa waktu kedepan. Bagi orang yang “kakinya gatal” untuk bepergian seperti saya, tentunya situasi serba terbatas dan tak menentu ini sangat tidak nyaman. Namun, sayangnya memang kita sedang tidak punya banyak pilihan. Sepertinya alam memang sedang mencari kesetimbangan barunya. Kita cuma bisa bersabar dan berdoa, semoga situasi “normal” yang memungkinkan kita bisa bepergian tanpa rasa khawatir bisa kita nikmati lagi, suatu waktu nanti 🙂

Leave a comment