Tualang

Bersepeda Bandung – Jogja via Daendels

Akhir Juni 2023, tanggal merah Idul Adha jatuh di pertengahan minggu. Karena sudah lama tidak jalan cukup jauh, saya kemudian memikirkan perjalanan apa yang akan dilakukan untuk memanfaatkan hari libur “kejepit” ini. Saya mematok durasi perjalanan satu minggu dan kalau bisa mengunjungi tempat yang belum pernah disambangi sebelumnya. 

Karena kebetulan sudah kembali tinggal di Bandung, saya kemudian berpikir untuk melakukan touring bersepeda. Pilihan jatuh untuk menempuh rute Bandung – Yogyakarta melalui jalur Pantai Selatan (Pansela) atau Jalan Daendels. Itulah sebab, perjalanan ini saya beri tajuk #PanselaCyclingTrip. Sebagai informasi, jalur ini merupakan salah satu dari setidaknya empat ruas yang membentang dari barat hingga timur pulau Jawa. Kebetulan, saya belum pernah melintasinya. Beberapa teman yang sudah pernah, mengatakan bahwa jalur ini memiliki kondisi jalan yang sudah baik serta pemandangan yang mengagumkan.

Saya mengecek kondisi sepeda dan mem-packing peralatan yang akan digunakan. Dalam list bawaan, saya turut menyertakan peralatan camping seperti tenda, sleeping bag, matras, trangia dan printilan lain yang sudah cukup lama tidak digunakan karena sedang bekerja di Kalimantan. Artinya, saya akan melakukan perjalanan ini dengan memadukan antara menginap di tenda dan hotel, serta memasak sendiri dan beli makanan jadi di warung. Dua tas pannier Ortlieb disertakan pada rak belakang untuk mengangkut bawaan. Sedang pada bagian depan, beberapa barang ditaruh di bagian atas rak untuk menyeimbangkan beban. 

Kayuhan dimulai pada hari Minggu, 25 Juni 2023 siang. Sepeda Federal chromoly saya arahkan menuju tenggara menuju Tasikmalaya. Menu pembuka hari pertama ini ialah menerobos beberapa titik macet di daerah Cicaheum, Ujung Berung dan Cileunyi. Tanjakan tipis menyambut saat melewati Cicalengka sebelum akhirnya turun saat memasuki Nagreg. Tantangan berikutnya ialah mengayuh di tanjakan daerah Malangbong yang cukup panjang dan menguras tenaga. Pada hari ini, saya masih mencoba beradaptasi sehingga kecepatan rata-rata hanya berkisar antara 15-20 km/jam. 

Titik bermalam pertama yang awalnya saya rencanakan adalah camping di Panumbangan yang berada di kaki Gunung Sawal, Tasikmalaya. Tapi karena jalanan keriting yang membuat kemalaman di jalan, saya memutuskan untuk beristirahat di Polsek Sukaresik. Pilihan untuk menginap di kantor polisi atau Koramil juga merupakan sebuah “hack” bagi rekan-rekan yang sedang dalam perjalanan dan membutuhkan tempat beristirahat yang aman dan gratis. Beberapa kali melakukan cara ini, rata-rata disambut baik oleh petugas selama kita bisa menjelaskan tujuan perjalanan yang dilakukan. Bahkan juga tak jarang dikasih bonus makanan atau minimal cerita mengenai kondisi sosial dan keamanan daerah sekitar. Lumayan untuk pengetahuan dan berjaga-jaga saat memasuki daerah yang pertama kali dikunjungi.

Pagi di hari kedua, setelah menyesap secangkir kopi, perjalanan dilanjutkan menuju Pangandaran. Volume kendaraan sudah mulai berkurang pada segmen ini. Saya menikmati perjalanan yang mulai melewati lanskap indah persawahan dan perkebunan jati. Di jalan menanjak Karangnini, sempat berpapasan dengan tiga pesepeda asal Salatiga yang juga sedang touring. Namun karena mengejar waktu supaya tidak terlalu malam tiba di Pangandaran, saya izin mendahului dan akhirnya tiba di Sunset Pangandaran tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Saya kemudian sedikit melipir mencari titik camping ideal di sisi pantai. Malam itu hujan turun deras dan angin laut bertiup kencang sehingga cukup ideal untuk menguji-coba kelayakan tenda dan peralatan camping lain yang sudah lama dicutikan sementara.

Keesokan paginya, saya mencari warung yang sekiranya dapat digunakan untuk sarapan, mandi dan mengisi daya beberapa peralatan elektronik yang dibawa. Untuk semua kebutuhan ini, saya hanya merogoh kocek dua puluh ribu rupiah saja. Jauh lebih hemat daripada menginap di hotel, bukan? Bagi saya, poin dari memilih style jalan seperti ini bukan pelit atau tidak punya uang. Tapi memang sengaja berlatih untuk menikmati ketidaknyamanan. Seringkali hal ini diperlukan ketika hidup sebagai masyarakat urban terlalu membuai kita dengan berbagai kenyamanan yang memanjakan.

Setelah urusan domestik diatas selesai dan kembali packing semua peralatan, saya kembali melanjutkan kayuhan menuju Batukaras yang berjarak sekitar 30 kilometer. Ternyata, jalanan sisi pantai yang menghubungkan antara Pangandaran – Batu Hiu – Batukaras hingga Madasari baru saja selesai sehingga dapat memangkas waktu cukup signifikan. Tak lupa, saya menyempatkan untuk mampir ke warung pizza langganan setiap kali ke Pangandaran, Brillo Pizza yang terletak dekat Citonjong. Pizza di warung ini dimasak di tungku dengan menggunakan kayu bakar dan disupervisi langsung oleh pemilik restoran yang berasal dari Italia.

Di Batukaras, saya memesan dormitory yang terletak bersisian dengan sawah untuk beristirahat selama dua malam. Saat berbincang dengan owner penginapan ini, dia bercerita bahwa dahulu membangun penginapan murah untuk memenuhi kebutuhan para surfer yang memang banyak datang dari berbagai negara ke Batukaras untuk berselancar. Kelebihan dari menginap dari homestay/hostel/dormitory jenis ini ialah kemungkinan besar kita akan saling berinteraksi dengan pemilik atau tamu lain sehingga menambah pengetahuan dan relasi pertemanan. Hal tersebut muncul karena mayoritas individu di penginapan ini adalah budget traveler yang sedang dalam perjalanan panjang. Mereka biasanya lebih mengutamakan “membeli” pengalaman daripada kenyamanan. Berinteraksi adalah salah satu bentuk upaya membeli pengalaman tersebut. Bagi saya, kesempatan untuk berjejaring ini adalah benefit yang hampir mustahil didapat apabila menginap di hotel konvensional dimana penghuninya relatif lebih individualis. 

Melintas Provinsi dan Merasakan Suasana Baru

Setelah istirahat dan menikmati suasana Batukaras yang selama dua hari dirundung mendung dan gerimis, pada hari kelima saya kembali melanjutkan kayuhan. Ternyata, perbatasan Jawa Tengah terletak hanya 60 menit bersepeda dari Pangandaran. Gapura perbatasan antara Provinsi Jawa Barat dan Jawa Tengah pada jalur ini terletak di Sidareja, sebuah desa yang tenang dan indah. 

Target perjalanan hari ini ialah Kota Cilacap. Track pada segmen ini relatif datar. Beberapa kali saya berhenti di sisi jalan untuk membeli jajanan, seperti es kelapa muda, es lidah buaya, es campur hingga combro. Sebenarnya untuk menuju Jogja ada jalan tanpa memasuki kota. Tapi karena saya sengaja ingin singgah ke Kota Cilacap yang belum pernah saya kunjungi, jadilah malam itu saya menginap di sebuah penginapan tak jauh dari Teluk Penyu. Teluk ini merupakan lokasi penting tempat keberadaan kilang terbesar milik PT Pertamina dan konon menjadi titik start renang lintas selat bagi pasukan Komando. Di salah satu sisi pantai juga terdapat dermaga khusus milik Kemenkumham yang digunakan untuk membawa narapida high-risk ke penjara di Pulau Nusa Kambangan. 

Setelah melewati Cilacap, saya memasuki segmen terasyik dalam perjalanan ini yaitu jalur Daendels. Jalan raya ini dibangun saat pendudukan Belanda, dibawah pengawasan A.D. Daendels (berbeda dengan Daendels yang membangun Jalur Pantura). Pada zaman dahulu, jalan ini dipergunakan sebagai jalur pembayaran upeti kepada kerajaan. Saat perang bergolak, Pangeran Diponegoro juga menggunakan jalur ini sebagai perlintasan gerilya melawan pasukan kolonial Belanda. Setelah cukup lama terbengkalai, beberapa tahun lalu pemerintah kembali merevitalisasi jalur ini sebagai alternatif. Saat ini jalur Daendels di pantai selatan sudah kembali cantik dan mulus dengan badan jalan lebar. Jalur ini membentang nyaris lurus sepanjang ratusan kilometer dari Cilacap hingga daerah Bantul, Provinsi DIY. 

Walaupun melalui jalan yang lurus dan relatif rata, tantangan pada segmen ini ialah headwind dari arah laut yang membuat kayuhan sepeda menjadi berat. Dalam catatan GPS, kecepatan maksimal yang saya capai hanya 15 km/jam saja. Memasuki wilayah Ayah di Kebumen pada sore hari, saya kemudian mencari camping spot untuk kembali mendirikan tenda. Ternyata, di kawasan perbukitan karst yang langsung bersisian dengan laut ini sedang marak dikembangkan menjadi objek wisata. Dua diantaranya yang sedang naik daun adalah Menganti dan Pitris yang ramai pengunjung setiap akhir pekan atau hari libur. Pada malam hari keenam ini, saya sempat merasakan guncangan gempa yang episentrumnya berada di lepas pantai Bantul. 

Hari berikutnya merupakan finish-push atau hari yang direncanakan untuk dapat mengakhiri perjalanan bersepeda ini. Saya menyudahi gowes hari terakhir ini sejauh 120 kilometer dengan titik akhir di daerah Prawirotaman, Yogyakarta. Senang sekali rasanya dapat kembali merasakan sensasi “bersakit-sakit” melakukan perjalanan jauh. Mengobati kerinduan menyigi tempat yang entah, sekaligus menjadi ajang untuk berkontemplasi tentang banyak hal yang disuguhkan kehidupan.

Link Strava Bandung – Yogya via Daendels Pantai Selatan: https://www.strava.com/activities/9581471984

Leave a comment