Tualang · Uncategorized

Bersepeda Menyusuri Tanah Celebes

Sejak setidaknya empat tahun lalu, saya selalu meniatkan untuk melakukan perjalanan besar minimal satu kali dalam setahun. Perjalanan ini saya jadikan sarana untuk sejenak lepas dari rutinitas dan menghirup aroma kehidupan yang berbeda di luar sana. Kondisi pandemi Covid-19 yang merebak semenjak Maret 2020 di Indonesia dan membuat pergerakan menjadi sangat terbatas, menimbulkan keinginan untuk menjelajah ke tempat jauh semakin membuncah.

Desember 2020, pandemi di negeri ini tak kunjung menunjukkan tanda akan surut. Saya harus memutar otak untuk menyiasati bagaimana tetap dapat melakukan perjalanan tapi dalam kondisi yang aman, baik bagi diri sendiri maupun orang-orang yang nanti akan ditemui. Saya membuat beberapa pertimbangan, hingga pada akhirnya saya memutuskan akan melakukan perjalanan bersepeda jarak jauh seorang diri di Pulau Sulawesi. Pilihan ini diambil karena saya merasa di Sulawesi yang relatif sepi saya tetap bisa menjaga jarak sehingga meminimalisir interaksi antar manusia dan risiko lain yang mungkin terjadi selama pandemi.

Selain itu, Sulawesi juga seringkali dinobatkan oleh pesepeda touring dunia sebagai salah satu destinasi yang mengagumkan. Para pesepeda yang sudah mengunjungi puluhan negara dengan bersepeda ini menjadikan Sulawesi sebagai salah satu favorit karena kondisi jalan yang relatif baik (jika dibanding pulau lain di Indonesia), tidak terlalu banyak penduduk (keramaian hanya ada di kota besar utama), budaya yang beragam, masyarakat yang ramah dan bersahabat, hingga pemandangan gunung hingga laut menawan dimana sebagiannya masih belum terjamah turisme.

MEMPERSIAPKAN PERJALANAN

Saacan indit geus nepi… (sebelum berangkat sudah sampai)” merupakan ungkapan yang seringkali didoktrin oleh para mentor saya di perhimpunan. Makud dari ungkapan berbahasa Sunda ini ialah mengajak untuk mempersiapkan segala sesuatunya secara detail jauh hari sebelum perjalanan dimulai. Persiapan yang dimaksudkan dapat meliputi gambaran lokasi yang akan didatangi, peralatan apa yang perlu dibawa, dokumen apa yang perlu disiapkan, hingga karakter masyarakat seperti apa saja yang nanti akan dijumpai. Saya merasakan banyak manfaat dari “doktrin” ini sehingga hampir setiap perjalanan pun akan saya mulai dengan riset dan mengatur perencanaan sebaik mungkin.

Begitupun halnya perjalanan bersepeda yang saya namakan dengan #TransSulawesiCyclingTrip ini. Berbekal beberapa buku panduan perjalanan dan catatan blog pesepeda yang pernah ke Sulawesi, saya mulai menyusun rute yang akan ditempuh. Dengan beberapa pertimbangan, saya memilih untuk mengawali perjalanan dari Kota Makassar di Sulawesi Selatan dan mengakhirinya di Kota Manado, Sulawesi Utara.  Dua lokasi ini terpisah jarak sekira 2.000 kilometer, dengan kondisi jalur yang relatif lengkap dari pesisir yang teduh hingga membelah barisan pegunungan yang tersebar di banyak tempat di pulau ini. Sebagai perbandingan, jarak ini setara bentangan antara Hanoi ke Beijing atau Amsterdam hingga Madrid. Apabila di luar negeri jarak ini sudah perjalanan lintas negara, di Indonesia kita baru menyusur satu pulau saja dari 17 ribu lebih pulau yang ada.

Sementara untuk persiapan sepeda yang akan saya gunakan, saya memperbaharui beberapa part agar cukup tangguh digunakan di tengah kerasnya medan perjalanan di Sulawesi. Karena ketika itu Indonesia sedang dilanda demam sepeda yang menyebabkan harga spare-part menjadi tak masuk akal, saya memutuskan untuk membeli dari marketplace online dan dikirim langsung dari Belanda. Menurut pengalaman saya, berbelanja dengan cara ini tak jarang lebih murah (sudah termasuk pajak dan cukai) dengan kualitas barang yang tidak perlu diragukan karena memang langsung dikirim oleh distributor resmi. Dalam kondisi normal, barang pesanan akan sampai di Indonesia dua minggu sejak tanggal pembelian.

Saya kemudian juga membuat daftar destinasi menarik yang perlu disambangi hingga kontak darurat yang bisa dihubungi apabila terjadi kondisi force majeure. Semuanya saya rangkum dalam satu dokumen sehingga nanti bisa diakses dengan mudah apabila diperlukan.

SELAMA DI PERJALANAN

Bentang jarak antara Makassar dan Manado saya kayuh dengan sepeda selama 23 hari. Perjalanan diawali pada tanggal 17 Desember 2020 di Pantai Losari, Makassar dan tiba di titik akhir pada tanggal 8 Januari 2021 di Jembatan Soekarno, Manado.

Sebenarnya, beberapa kota pada perjalanan ini pernah saya singgahi secara parsial, namun menjajalnya secara perlahan secara “one big push” dari atas sadel sepeda tentu menghadirkan rasa penasaran dan antusias tersendiri.

Untuk meringkas kondisi perjalanan yang dilalui tersebut, saya akan membaginya menjadi empat segmen lintasan disesuaikan dengan titik lokasi saya melakukan recovery.

Segmen 1: Makassar – Barru – Enrekang – Makale – Rantepao

Perjalanan diawali dengan jalur lintas utama yang lebar, mulus, dan datar menyusur pantai barat Sulawesi Selatan. Kondisi seperti ini berlangsung setidaknya sampai Kota Pinrang. Dari sini, terdapat persimpangan yang mengarah ke Majene (Sulawesi Barat) dan Enrekang. Karena rute yang direncanakan adalah memasuki wilayah Poso, maka saya mengambil arah timur laut menuju Tana Toraja. Jalanan bergelombang membelah dan naik turun bukit dirasakan setidaknya ketika mulai meninggalkan Pinrang. Dari sini, lalu lintas yang tadinya ramai oleh truk dan bus besar, mulai sepi. Enrekang sendiri merupakan wilayah pegunungan yang memiliki lanskap menawan. Di sisi jalan antara Enrekang dan Tana Toraja juga terdapat beberapa tebing cadas yang menjulang cantik, diantaranya ada Tebing Bambapuang yang memang sudah cukup dikenal oleh para penggiat kegiatan di tebing terjal.

Segmen 2: Rantepao – Sabbang – Mangkutana – Perbatasan Sulteng – Danau Poso

Toraja adalah salah satu spotlight pariwisata di Pulau Sulawesi. Alam pegunungan dan budaya leluhur yang masih terjaga tentu menjadi daya tarik yang tak bisa dituntaskan hanya selintas lalu. Karenanya, mengalokasikan waktu recovery di sini adalah sebuah pilihan bijak. Saya kemudian menyewa sebuah kamar guesthouse di Rantepao, untuk kebutuhan pengecasan beberapa perangkat elektronik dan mencuci peralatan yang sudah mulai kotor setelah empat hari perjalanan.

Perjalanan dilanjutkan ke arah timur, diawali dengan tanjakan tipis menuju Kaleakan yang berupa sebuah puncakan di Hutan Nanggala, Toraja Utara. Dari titik ini, kita akan melalui lintasan sepi dengan lanskap memukau menuju Kota Palopo, ibukota Kabupaten Luwu. Jalanan menurun dari ketinggian 1.200 menuju 0 mdpl. Kemudian, perjalanan diteruskan menuju Masamba (ibukota Luwu Utara) dan berbelok mengarah ke utara begitu memasuki Mangkutana. Mangkutana adalah peradaban ramai terakhir yang dijumpai sebelum dihajar tanjakan tak ada habis di belantara Pegunungan Tineba di perbatasan antara Sulsel dan Sulteng. Saya menghabiskan waktu dari pagi hingga sore hari melewati jalur dari Mangkutana hingga tiba di pos perbatasan.

Beberapa kilometer setelah melewati perbatasan, Danau Poso akan menyapa dari kejauhan. Begitu tiba di Pendolo yang berada di sisi selatan Danau Poso, ada dua percabangan jalur. Ke sisi timur danau dimana kita akan melalui jalan yang melambung menjauhi danau dan menjahit lagi beberapa punggungan di kawasan Pegunungan Pompangeo. Sedangkan di sisi barat, adalah jalur semi gravel dimana kita akan menjumpai Taman Anggrek Bancea dan Air Terjun Saluopa. Beristirahat di Danau Poso yang menduduki posisi ketiga terbesar di Indonesia juga pilihan yang bijak. Perjalanan dari Tentena menuju Poso Kota lebih banyak didominasi turunan dan akan melewati beberapa perkampungan kecil yang berada di sisi jalan.

Segmen 3: Danau Poso – Poso Kota – Parigi – Tada – Ambesia – Pohuwato – Lemito – Topanga – Isimu

Setelah melintasi jalur pegunungan dari Enrekang hingga Danau Poso, saya kembali menjumpai jalur menyusur pesisir setelah memasuki Kota Poso. Jalur dari Poso hingga Ambesia lebih dikenal penduduk sebagai jalur pantai timur, dimana jalan yang dilewati bersisian dengan lautan Teluk Tomini yang tenang. Pada bagian ini banyak pantai landai yang bisa dimanfaatkan sebagai tempat bermalam dan mendirikan tenda.

Berbicara kondisi medan, salah satu tanjakan panjang dengan gradien cukup tegak pada segmen ini berada di Santigi. Tenaga saya cukup terforsir ketika harus menerabas segmen ini. Kayuhan kemudian dilanjutkan hingga tiba di Isimu, kota kecil di Provinsi Gorontalo dimana terdapat percabangan jalan menuju Manado lewat sisi utara atau selatan. Saya sendiri memilih berbelok ke arah utara karena dari informasi yang diterima, kondisi lalu lintas relatif lebih ramah dan aman. Walau Bandara Djalaludin Gorontalo berada di kota ini, relatif tidak banyak pilihan akomodasi yang tersedia di Isimu.

Segmen 4: Isimu – Boroko – Babo – Sapa – Manado

Jalur utara dari Isimu menuju Manado merupakan jalan utama yang biasa dilalui oleh truk angkutan atau bus penumpang. Saya membutuhkan empat hari menempuh segmen ini, dengan titik bermalam antara lain di Boroko, Babo, dan Sapa. Jalanan pada ruas ini kembali naik turun bukit yang tak terhitung jumlahnya. Banyak terdapat warung makan yang rata-rata menyajikan menu ikan bakar dan woku. Pemukiman dengan mayoritas kaum nasrani akan dijumpai begitu memasuki Kabupaten Minahasa Selatan.

Saya menjadikan Jembatan Soekarno  di Kota Manado sebagai titik akhir perjalanan karena berada di tengah kota dengan struktur bangunan yang cukup ikonik. Sebagai kota terbesar kedua di Sulawesi setelah Makassar, tersedia banyak pilihan penginapan dan makanan di Manado. Saya tentunya tak melewatkan untuk mencicipi rahang tuna bakar yang disajikan dengan sambal colo-colo. Cocok sebagai menu pengganti asupan nutrisi yang tidak begitu memadai selama puluhan hari perjalanan.

APA SELANJUTNYA?

Tak bisa dipungkiri, melakukan kegiatan seperti ini memang ibarat mengonsumsi candu yang membuat kita ketagihan. Selain sebagai olahraga yang menyehatkan, aktifitas bersepeda jarak jauh ini juga memungkinkan saya mendatangi tempat-tempat asing hingga berkenalan dan bersilaturahmi dengan masyarakat dari beragam lapisan. Bagi saya pribadi, kesempatan untuk menjumpai lokasi dan manusia baru ini merupakan sesuatu yang tak bisa dibandingkan nilainya dengan materi semata. Dari hal tersebut saya banyak belajar, sehingga setiap perjalanan saya menjadi ajang untuk menjaring insight baru sekaligus recharge pikiran sebelum kembali ke kesibukan utama.

Jika ditanya apakah saya memiliki mimpi perjalanan besar bersepeda berikutnya? Tentunya ada. Apabila ada kesempatan dan rezeki, saya ingin sekali minimal sekali dalam hidup mencicipi rute-rute epic menyusur Pulau Utara-Selatan di Selandia Baru, merambah pegunungan Patagonia di Amerika Selatan atau terengah-engah menggowes di Pamir Highway, Asia Tengah.

Boleh kan ngimpi dulu…. 🙂

Note: Catatan detail kondisi harian selama perjalanan, suka dukanya, peralatan yang digunakan hingga estimasi biaya dapat diakses di link ini ya.

2 thoughts on “Bersepeda Menyusuri Tanah Celebes

Leave a comment