Catatan Harian · Tualang

Jalan Berliku Pendidikan Alam Terbuka

Di tengah hiruk pikuk Pilkada 2017, terselip kabar dari lereng Gunung Lawu yang cukup menggemparkan. Tak kurang dari kerabat korban, penggiat media sosial, pemerhati pendidikan, hingga presiden berkomentar atas kejadian yang sebenarnya bukan barang baru ini. Tiga nyawa tewas, dan puluhan lainnya harus dirawat di rumah sakit setelah mengikuti pendidikan dasar pecinta alam sebuah perguruan tinggi swasta di Yogyakarta.

Sang rektor mundur, investigasi serius dilakukan baik oleh pihak kampus maupun kepolisian. Terdapat beberapa indikasi dilakukannya tindakan kekerasan yang disengaja. Jika bukti mencukupi, kasus ini akan masuk dalam ranah kriminal. Kemungkinan besar, para pelaku dan otak dibalik kejadian ini harus mendekam dibalik jeruji besi untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Kabar terakhir yang beredar, hasil recovery data dari perangkat digital milik panitia, polisi menemukan video yang merekam adegan kekerasan terhadap anak muda yang seharusnya menjadi roda penerus organisasi tersebut.

Berkaca ke belakang, kasus ini ibarat fenomena gunung es. Puluhan tindak bullying serupa juga terjadi di banyak tempat dengan berbagai alasan dan cara. Berbagai mediasi, seminar, atau penyuluhan yang dilakukan masih belum mampu menghapus perlakuan yang biasanya berlindung dibalik  topeng “tradisi” ini.

Khusus untuk kasus pada kegiatan Pendidikan dan Latihan Dasar yang memanfaatkan alam terbuka sebagai medianya, apakah memang harus disertai dengan kontak fisik yang tak terkontrol? Benarkah ada relevansi antara hukuman fisik dengan “ketangguhan mental” seseorang, sebagaimana selama ini sering dijadikan dalih? Adakah cara lain yang lebih efektif untuk membentuk sosok penggiat alam yang berwawasan, terampil, sekaligus punya karakter unggul?

Seorang senior yang acap kali membidani pendidikan di alam terbuka pernah memberitahu, bahwa secara mendasar, mendidik dapat diartikan sebagai proses memberikan sesuatu yang baru dan pembekalan pengetahuan. Sedangkan latihan berbicara tentang peningkatan keterampilan. Dari definisi sederhana ini, dapat ditarik benang merah bahwa kegiatan diklat idealnya dapat mengasah softskill dan hardskill pesertanya. Sebuah kegiatan yang mestinya terencana dan terukur dengan baik, alih-alih membuka celah bagi tindakan sewenang-wenang yang tidak berdasar. Berlatih di alam terbuka berarti kepada alam beserta segala gejalanya (hujan, dingin, panas dst) lah kita berguru. Para senior, pelatih dan instruktur yang paham akan menempatkan dirinya sebatas sebagai pengantar.

Alam-lah sebaik-baiknya guru
Alam-lah sebaik-baiknya guru!

Suatu Diklat pun tak ayal dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman. Kesalahan dikoreksi, muatan positif ditambahkan. Tujuannya harus tegas, guna menghasilkan penerus yang lebih baik dan berkualitas. Sebagai referensi, metode pendidikan berbasis alam terbuka yang saya jalani juga mengalami penyerapan dari berbagai macam “budaya.” Beberapa diantaranya ialah kepanduan, cerita pengembaraan Winnetou – suku Indian, masyarakat tradisional di pelosok-pelosok daerah, pendidikan komando militer, hingga filsafat ala Collin Mortlock.

Mortlock ialah seorang adventure-expert yang berpengalaman dalam banyak ekspedisi di Himalaya dan Kutub Utara, juga sebagai direktur di The Centre for Outdoor Education (UK). Legacy-nya yang terkenal hingga kini ialah pembagian tingkat petualangan menjadi 1) play, 2) adventure, 3) adventure frontier, dan 4) misadventure. Nama-nama lain seperti John Dewey, Kurt Hahn (insiator Outward Bound), Lord Baden Powell (kepanduan), Willi Unsoel, hingga Paul Petzoldt (pendiri National Outdoor Leadership School) tentunya tak luput dijadikan rujukan.

Semuanya pun tak ditelan mentah-mentah. Kajian kelayakan kemudian dilakukan, menyesuaikan dengan kebutuhan dari diklat itu sendiri. Setelah dijalankan, kontrol dan evaluasi juga terus dijaga agar nilai-nilai positif yang diserap tersebut tidak mengalami pergeseran dalam eksekusinya.

Saya tak memungkiri, dalam suatu diklatsar yang biasanya lebih menekankan pada pembentukan sikap dan karakter peserta, hukuman berbentuk push-up, roll, rendam di kolam, atau bahkan tamparan dibutuhkan guna mencapai tujuan latihan. Namun, di perhimpunan yang saya ikuti, hal-hal ini dilakukan secara proporsional oleh tim khusus yang diberi wewenang. Tim ini pun kemudian harus mempertanggungjawabkan tindakannya pada seluruh jajaran pelatih saat evaluasi harian dilakukan. Tindakan tersebut harus berada dalam koridor mendidik. Apabila ditemukan indikasi yang mencelakakan peserta, tak jarang sang oknum di-skorsing dari medan latihan, yang menjadi salah satu bentuk “sanksi sosial” yang cukup memalukan.

Pengkondisian yang tegang dan satu arah antara peserta dengan jajaran pelatih ini juga hanya berlangsung selama pendidikan dasar. Setelah menjalani masa bimbingan, berupa peningkatan wawasan dan skill, suasana egaliter justru sangat terasa. Siapapun dirangsang untuk mampu berpikir kreatif, berani berargumen, dan tentu saja dalam suasana yang riang gembira. Atmosfir belajar yang fun ini, sebagaimana diungkap Roberta DePorter (pelopor Quantum Learning Network), diyakini dapat memberikan dampak lebih baik atau lompatan hasil belajar. Para mentor dan senior merupakan orang yang telah melalui proses sama pada masanya masing-masing. Mereka tahu betul asyiknya tahap demi tahap yang ada, sehingga dapat dengan mudah mengajak dan mempengaruhi kami para juniornya.

Kembali pada diksar yang berujung maut. Paska heboh meninggalnya siswa SMA favorit di Jakarta saat mengikuti diksar di tahun 2014 silam, beberapa kalangan terkait sebenarnya sempat terlibat perundingan yang cukup intens. Bahasan yang diangkat tentu berkisar SOP (Standart Operating Procedure) rangkaian kegiatan dalam diksar, standar kompetensi pelatih/instruktur dan hal-hal berkaitan lainnya.

Namun sayang, konsolidasi berbulan-bulan inipun juga akhirnya menghasilkan kata sepakat. Mayoritas organisasi penggiat alam, khususnya yang berada di lingkungan sekolah yang menjadi target, merasa tidak sreg dengan standardisasi yang direncanakan. Bermacam alasan diutarakan, perbedaan “nilai dan tradisi” yang dianut, tidak samanya visi, hingga beban jam belajar yang membuat para siswa kemudian sulit mengembangkan diri bersiap menjadi pelatih yang handal. Terkesan sepele, tapi realitanya memang faktor inilah yang membuat keinginan berevolusi menemui jalan buntu.

logo-desktopLalu apa jaminannya agar bullying tidak lagi berulang? Otoritas berwenang sepertinya harus lebih serius memperhatikan fenomena ini. Juklak (petunjuk pelaksanaan) dan Juknis (petunjuk teknis) yang universal dapat mengakomodasi kebutuhan pelaksaan pendidikan alam terbuka bagaimanapun harus dibakukan. Ini akan sangat berguna sebagai pedoman bagi organisasi amatir, juga dapat jadi legal standing apabila di kemudian hari kecelakaan atau pelanggaran kembali terulang. Selain merangkul individu-individu berkompeten untuk menyusunnya, referensi pun dapat diperkaya dengan melakukan studi banding pada lembaga sejenis di luar negeri. Lembaga pendidikan seperti NOLS, Outward Bound, Glenmorelodge, atau 35 outdoor school terbaik merupakan beberapa yang telah diakui keunggulannya. Pada akhirnya, semua akan kembali lagi, maukah kita semua menerobos “zona nyaman” yang berpuluh tahun nyaris tak diusik itu?

 

 

 

 

Leave a comment